Menjaga Rumah-Nya, Menjaga Hati: Kisah Ihtiar dan Tawakal Seorang Kakek Marbot

Dalam kesunyian masjid, ada langkah yang tak pernah lelah. Di antara lantunan azan dan dzikir, seorang kakek terus melangkah—bukan sekadar membersihkan debu, tapi menjaga kehormatan tempat suci. Inilah kisah tentang seorang marbot, yang hidupnya menjadi potret nyata dari perjuangan, keikhlasan, serta perpaduan indah antara ikhtiar dan tawakal.

Dalam kesunyian masjid, ada langkah yang tak pernah lelah. Di antara lantunan azan dan dzikir, seorang kakek terus melangkah—bukan sekadar membersihkan debu, tapi menjaga kehormatan tempat suci. Inilah kisah tentang seorang marbot, yang hidupnya menjadi potret nyata dari perjuangan, keikhlasan, serta perpaduan indah antara ikhtiar dan tawakal.

Namanya tak terkenal, wajahnya pun sering luput dari sorotan. Namun setiap subuh ia sudah tiba lebih awal dari jamaah. Sarung menjadi identitasnya, senyum menjadi caranya menyambut dunia. Dengan tubuh renta, ia tetap membersihkan karpet, menyiapkan pengeras suara, dan memastikan air wudhu mengalir.

 

Meski usianya tak muda lagi, ia tak pernah meminta belas kasihan. “Kalau bukan saya yang bersihkan, siapa lagi?” katanya lirih, sembari mengepel lantai masjid. Upah sebagai marbot tak seberapa, namun baginya ini bukan tentang uang. Ini tentang tanggung jawab kepada sesama dan pengabdian kepada tempat suci.

“Kalau rezeki mah, datangnya dari mana aja. Yang penting usaha dulu,” ucapnya sambil tersenyum. Tawakal bukan berarti diam, tapi menerima hasil dari kerja kerasnya dengan lapang dada. Ketika sakit pun, ia tak ingin menyusahkan. Baginya, rezeki, kesehatan, dan usia—semua telah ditakar.

Ia mungkin tak memiliki gelar tinggi atau pengikut di media sosial, tapi hidupnya adalah pelajaran bagi banyak orang. Kesederhanaannya adalah keteladanan, keikhlasannya adalah kekuatan. Ia menunjukkan bahwa dalam sunyinya tugas yang dianggap remeh, ada kemuliaan besar yang tercipta dari niat baik dan tawakal penuh.

Ia mungkin tak memiliki gelar tinggi atau pengikut di media sosial, tapi hidupnya adalah pelajaran bagi banyak orang. Kesederhanaannya adalah keteladanan, keikhlasannya adalah kekuatan. Ia menunjukkan bahwa dalam sunyinya tugas yang dianggap remeh, ada kemuliaan besar yang tercipta dari niat baik dan tawakal penuh.

Hari ini harus lebih baik dari kemarin, walau sedikit.

Di sudut jalan kecil di Tasikmalaya, suara dentingan mangkuk dan aroma kuah mie ayam menjadi saksi bisu perjuangan Pak Asep. Seorang ayah tiga anak, yang memilih berjualan mie ayam keliling setelah toko material tempatnya bekerja tutup pasca pandemi.

Ia tidak punya gerobak mewah, hanya sepeda motor tua yang diikatkan kotak aluminium sederhana. Tapi setiap pagi, ia berangkat dengan satu semangat: “Hari ini harus lebih baik dari kemarin, walau sedikit.”


Pak Asep mulai meracik mie ayam dari resep ibunya. Sederhana tapi penuh rasa. Ia tak punya latar belakang bisnis, tak paham digital marketing, tapi punya satu senjata: keikhlasan dan usaha yang terus-menerus.

Ia sering berkata kepada anaknya:

“Bapak ini bukan orang kaya, tapi kita tidak boleh malas. Rezeki bukan tentang siapa yang cepat, tapi siapa yang tekun.”

Meski hujan turun, ia tetap keliling. Meski pernah pulang hanya menjual lima porsi, ia tidak menyerah.

Kisah Pak Asep bukan hanya tentang mie ayam. Ini tentang wajah banyak pejuang nafkah di Indonesia — mereka yang bekerja diam-diam, tanpa panggung, tapi penuh makna. Tentang bagaimana ikhtiar dan tawakal menjadi kekuatan utama, bukan hanya teori, tapi cara hidup.

Dari gerobak kecil di tengah jalan sempit, Pak Asep menunjukkan bahwa hidup bukan tentang seberapa besar hasil yang kita dapatkan hari ini, tapi seberapa kuat kita bertahan tanpa kehilangan arah.